Terdapat pertanyaan yang tersebar di kalangan para penuntut ilmu, “Kenapa kita harus bermazhab?”, “Bukannya kita diperintahkan oleh Allah untuk mengikuti Allah dan Rasul-Nya, dan bukan para imam mazhab?”, atau “Bahkan para imam mazhab pun melarang kita untuk bertaklid kepada mereka!”
Pertanyaan itu pun sempat berputar di kepala saya selama beberapa tahun hingga saya mencari jawabannya dan akhirnya saya mendapatkannya. Setidaknya terdapat tujuh poin penting yang kita dapatkan dalam bermazhab. Saya akan jelaskan satu persatu, semoga bermanfaat.
Pertama.
Mazhab-mazhab fikih itu Musannadah, atau memiliki sanad dalam setiap perkataan dan pemahamannya. Sanad merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan beragama seorang muslim. Ibnu Sirin, salah seorang ulama generasi tabiin berkata, “Awalnya mereka (kaum muslim saat itu) tidak pernah bertanya tentang sanad, namun ketika terjadi fitnah mereka berkata beritahu kami siapa orang (yang kau ambil ilmunya)! Lalu dilihatlah para kaum ahlusunah dan hadis mereka diambil, dan dilihatlah kaum ahli bidah dan hadis mereka tidak diambil.”
Dalam riwayat lain dari Ibnu Sirin, ia berkata, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian!”
Awalnya Rasulullah mengajarkan agama ini kepada para sahabat. Para sahabat pun memiliki derajat pemahaman terhadap agama yang berbeda-beda karena beberapa sebab. Maka dikenallah beberapa orang sahabat yang tidak hanya meriwayatkan hadis dariRasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, namun juga mereka dikenal sebagai para mujtahid dari para sahabat. Di antaranya adalah Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas`ud dan Aisyah binti Abu Bakar.
Saat Rasulullah tiada, para sahabat ini beserta para sahabat lain berpencar ke berbagai penjuru daerah untuk menyebarkan apa yang telah mereka dapatkan dari Rasulullah. Ibnu Mas`ud menetap di Kufah, Ibnu Umar menetap di Madinah, Abu Musa al-Asy`ari di Yaman, Anas bin Malik di Bashrah, dan Amru bin al-`Ash di Mesir. Dan di generasi selanjutnya, terdapat dua aliran besar dalam Islam yaitu madrasah ahlu ra`yi, para murid dari Ibnu Mas`ud di Kufah dan madrasah ahlu hadis, para murid dari Ibnu Umar di Madinah.
Dari dua madrasah inilah kemudian muncul imam Abu Hanifah di Kufah dan imam Malik bin Anas di Madinah. Kemudian muncul Imam Syafi`i yang belajar kepada imam Malik dan imam Muhammad bin al-Hasan As-Syaibani murid dari imam Abu Hanifah. Kemudian muncul imam Ahmad bin Hanbal yang belajar kepada imam Syafi`i. Para imam itu kemudian mengajarkan ilmunya kepada generasi-generasi selanjutnya dengan cara yang sama. Penjelasan tentang sanad dalam mazhab Syafi`i saja akan menghabiskan banyak sekali lembaran catatan yang berisi nama, tahun wafat, nama guru dan muridnya.
Sanad merupakan salah satu sebab kenapa ajaran agama Islam bisa bertahan dan tidak berubah laiknya agama Yahudi dan Nasrani. Maka, menjaga tradisi beragama melalui sanad dalam mazhab juga merupakan jalan untuk menjaga agama ini dari serangan tangan-tangan orang luar Islam.
Kedua.
Mazhab-mazhab fikih itu� Makhdumah, menjadi bahan penelitian yang sangat serius. Awalnya bermula dari kitab yang dituliskan oleh imam mazhab ataupun oleh muridnya, kitab itu kemudian diringkas, diteliti dan dikembangkan oleh generasi selanjutnya. Ringkasan itu kemudian kita kenal sebagai matan yang kemudian disyarah oleh generasi selanjutnya. Syarah dari matan itu pun kemudian dijelaskan lagi dalam bentuk hasyiah, kemudian diberi komentar-komentar oleh generasi selanjutnya. Tidak berhenti di situ, terkadang sebuah matan kembali diringkas, ditambahi, kemudian dijelaskan, dan begitu seterusnya. Maka, akan terdapat silsilah kitab yang jelas di setiap mazhab.
Contohnya dalam mazhab Syafi`i. Terdapat empat kitab yang diwariskan oleh Imam Syafi`i dan muridnya, yaitu kitab al-Umm, al-Imla’, mukhtasar al-Buwaythi, dan mukhtasar al-Muzani. Mukhtasar al-Muzani kemudian disyarah oleh tujuh orang ulama generasi setelahnya dan diringkas oleh satu orang hingga terdapat delapan buah kitab muktamad yang berasal darinya. Salah satunya adalah kitab Nihayah al-Mathlab fi Dirayah al-Mazhab karya imam Haramayn al-Juwayni yang kemudian diringkas oleh imam al-Ghazali menjadi tiga kitab, yaitu al-Basith, al-Wasith, dan al-Wajiz.
Al-Wajiz kemudian disyarah oleh imam Rafi`i menjadi Fath al-`Aziz yang kemudian diringkas lagi oleh imam Nawawi menjadi Rawdhah al-Thalibin dan imam Qazwini menjadial-Hawi al-Shaghir. Kedua kitab itu pun masih diringkas, lalu disyarah, dan syarah itu kemudian disyarah, dikomentari, dan ditambahi hinga menjadi belasan kitab lainnya.
Selain itu terdapat tiga kitab utama dari kalangan ulama Syafi`i muta’akhir, yaitu al-Lubab, al-Muharrar, dan Ghayah al-Ikhtishar. Ketiga kitab itu pun disyarah, diberi hasyiah, terus dan terus dikaji hingga silsilah kitab dalam mazhab Syafi`i bisa tergambar jelas dalam sebuah diagram pohon silsilah yang panjang.
Ketiga.
Mazhab-mazhab itu� Mudallalah, yaitu setiap hukum yang terdapat di dalamnya memiliki landasan baik dari al-Quran, sunah, maupun sumber hukum lainnya sesuai dengan metode ijtihad dari masing-masing mazhab. Perbedaan pendapat di antara mazhab satu dengan lainnya bukanlah didasarkan atas akal-akalan para ulama mazhab, namun karena perbedaan metode, pemahaman, penilaian terhadap riwayat, situasi tempat tinggal, dan beberapa sebab lain.
Contohnya saja dalam masalah Basmalah dalam surat al-Fatihah. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Basmalah bukan termasuk surat al-Fatihah, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Basmalah termasuk surat al-Fatihah. Dalam membacanya pun terdapat perbedaan dari masing-masing mazhab. Semuanya memiliki dalil dan metode sendiri-sendiri yang menyebabkan perbedaan pendapat ini.
Keempat.
Mazhab-mazhab itu memiliki akar yang menyambung kepada imam masing-masing. Dan perbedaan imam tersebut menjadikan perbedaan kaidah-kaidah dan metode ijtihad yang berbeda satu sama lain. Di dalam fikih mazhab Syafi`i terdapat lima kaidah utama yang dijelaskan oleh imam al-Suyuthi dalam kitab� al-Asybah wa al-Nadza’ir, yang lima kaidah itu belum tentu ada di mazhab lainnya.
Kelima.
Mazhab-mazhab itu memiliki metode sendiri dalam pengajarannya. Setiap mazhab memiliki metode yang berbeda dalam setiap tingkatan untuk memudahkan para penuntut ilmu dalam menyerap dan memahami fikih sesuai dengan kemampuannya. Misalkan dalam mazhab Syafi`i terdapat kitab Safinah al-Najah untuk pemula dengan berbagai syarahnya, kemudian diteruskan dengan kitab al-Ghayah wa al-Taqrib untuk tingkat selanjutnya juga dengan berbagai syarahnya, kemudian ada kitab Fath al-Mu`in, al-Muhadzab, Minhaj al-Thalibin, dan kitab-kitab lain hingga jika seorang murid telah mampu untuk membaca dan memahami ia bisa menelaah sendiri kitab-kitab yang menjadi rujukan utama dalam mazhab Syafi`i.
Seorang pelajar pemula akan lebih cepat memahami dan mempraktekkan apa yang ia pahami jika telah dibuat ringkas sebagaimana matan Safinah al-Najah. Jika anda membuka matan kitab itu, maka anda akan melihat bahwa di dalamnya hanya terdapat hal-hal yang utama untuk diketahui lebih awal oleh para pemula. Kitab itu hanya memuat bab rukun Iman dan Islam, bab bersuci, bab salat, bab jenazah, bab zakat, puasa dan haji dengan penjelasan yang sangat singkat. Karena hal itulah yang paling utama untuk diketahui dan diamalkan oleh pemula sesaat setelah mereka balig. Berbeda dengan matan al-Ghayah wa al-Taqrib yang isinya lebih lengkap, dan berbeda juga dengan matan Minhaj al-Thalibinyang di dalamnya disertai dengan perbedaan pendapat antara ulama-ulama di dalam mazhab Syafi`i.
Hal itu berbeda jika pembelajaran dimulai menggunakan kitab yang berisi hadis-hadis dengan sedikit komentar di dalamnya. Sebuah hadis bisa saja memiliki dua hingga lima maksud yang berbeda yang hal itu akan sangat menyulitkan bagi para pemula. Belum lagi bahwa diperlukan waktu yang lama untuk mempelajari seluruh hadis sahih yang ada dalam bab bersuci, lalu kapan bab salat, puasa dan haji akan dipelajari? Bagaimana jika ketika seorang pelajar telah memasuki usia balig namun ia baru sampai di bab bersuci?
Matan kitab-kitab tersebut adalah hasil ijtihad dari penulis kitab itu sesuai dengan metode yang telah ia pelajari. Memang, di dalam matan-matan itu jarang sekali terdapat dalil baik dari al-Quran ataupun sunah. Namun pendalaman akan dalil-dalil itu bisa diperdalami di kemudian hari saat seorang pelajar telah siap untuk hal itu.
Seorang muslim akan bertanggungjawab atas dirinya sendiri dalam beribadah kepada Allah sejak ia masuk usia balig. Maka, hal-hal yang harus dipenuhi pertama kali adalah hal yang menunjang ia dalam beribadah di saat itu.
Keenam.
Mazhab-mazhab itu telah terkodifikasi, dan telah terkomparasikan antara satu dan lainnya. Pada tinggat selanjutnya, seorang pelajar akan bertemu dengan pelajaran fikih perbandingan mazhab yang mana di sana ia akan bertemu dengan perbedaan pendapat antara mazhab satu dan lainnya. Di sana juga ia akan mengenali perbedaan pendapat, dalil dan metode ijtihad yang telah menjadi ciri dari mazhab-mazhab itu sendiri.
Seluruh pendapat dan metode ijtihad itu merupakan bangunan tradisi keilmuan fikih yang sangat megah yang jika mazhab-mazhab itu dihapuskan maka usaha dan pengabdian para pendahulu kita terhadap agama ini tak lagi ada harganya. Ini juga merupakan salah satu upaya penghargaan atas jerih payah dan pengabdian para pendahulu kita terhadap agama ini. Semoga Allah membalas mereka dan menempatkan mereka di tempat yang layak.
Ketujuh.
Terakhir, dengan kodifikasi mazhab-mazhab tadi maka setiap mazhab telah memiliki metode ijtihad sendiri yang dapat dijadikan landasan dalam menghadapi hal-hal baru yang tidak ada sebelumnya dan perlu dicarikan hukumnya. Jika bermazhab dilarang, maka para mujtahid di masa yang akan datang akan terputus dari metode ijtihad yang telah ada pada generasi sebelumnya.
Maka, bermazhab itu bukanlah soal mengikuti pendapat imam A dan meninggalkan hadis yang ada, namun lebih dari itu. Bermazhab itu mempelajari metode ijtihad dalam menggali hukum dari al-Quran dan hadis. Bermazhab itu melestarikan tradisi keilmuan fikih Islam yang telah dibangun sejak zaman Rasulullah dan para sahabat. Bermazhab itu memberikan penghargaan kepada para pendahulu kita yang telah memberikan sumbangsih yang tiada tara kepada peradaban keilmuan Islam secara keseluruhan. Bermazhab itu adalah salah satu cara untuk menjaga agama ini agar bertahan dari serangan pihak lain hingga hari akhir nanti. Semoga bermanfaat.
[Oleh: Fahmi Hasan Nugroho,Mahasiswa Tingkat III, Fakultas Syariah Islamiyah, Universitas Al-Azhar-Kairo].
Referensi
- Al-Fawa’id al-Makiyah, fi ma Yahtajuh Thalabah al-Syafi`iyah min al-Masa’il wa al-Dhawabith wa al-Qawaid al-Kulliyah, Syaikh `Alawi bin Ahmad bin Abdurrahman al-Saqqaf, Dar al-Faruq, Kairo, 2012
- Al-Ghayah wa al-Taqrib, al-Qadhi Abu Syuja` Ahmad bin al-Husain bin Ahmad al-Ashfahani, al-Maktabah al-Islamiyah, Kairo, 2011.
- Safinah al-Najah, Syaikh Salim bin Samir al-Hadhrami, al-Maktabah al-Islamiyah, Kairo, 2011.
- Shahih Muslim, Imam Muslim, Maktabah Syamilah.
- Tarikh al-Tasyri` al-Islami, Rasyad Hasan Khalil, Kairo, 2011.
-� `Ulum al-Hadis, Dr. al-Khusyu`i Muhammad al-Khusyu`i, Kairo, 2011.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan