Kegiatan Maulid Nabi belum dilaksanakan pada zaman Nabi, tetapi pekerjaan itu dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya secara umum. Walaupun tidak ada nash yang nyata tetapi secara tersirat Allah dan Rasul-Nya menyuruh kaum muslimin untuk merayakan suatu hari yang menjadi peringatan-peringatan seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an, tahun baru Islam, hari Asyura’ dan lain-lain.[1]
Di antara 40 dalil yang menjadi dasar Maulid Nabi antara lain:
“Dari Ibnu Abbas ra. Beliau berkata: bahwasanya Rasulullah ketika di Madinah beliau dapat orang Yahudi puasa pada hari Asyura, maka Nabi bertanya kepada mereka: hari apakah yang kamu puasakan ini? Jawab mereka: ini hari besar di mana Allah telah membebaskan Musa dan kaumnya, maka Musa berpuasa pada hari semacam ini karena bersyukur kepada Allah dan kamipun mempuasakan pula untuk menghormati Musa disbanding kamu. Maka Nabi berpuasa pada hari Asyura itu dan beliau menyuruh umat Islam untuk berpuasa pada hari itu.” (HR. Bukhari Muslim)[2]
Al-Hafid Ibnu Hajar Asqalani yaitu pengarang Shahih Bukhari yang bernama Fatkhul Bari’ mengatakan bahwa dari hadis tersebut dapat dipetik hukum:
1. Umat Islam dibolehkan bahkan dianjurkan agar memperingati hari-hari bersejarah, hari-hari yang dianggap besar seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj dan lain-lain.
2. Nabi pun memperingati hari karamnya Fir’aun dan bebasnya Musa dengan melakukan puasa Asyura sebagai rasa syukur atas hapusnya yang bathil dan tegaknya yang hak.[3]
Selanjutnya dalil yang berkaitan dengan Maulid Nabi sebagaimana disebutkan dalam Firman Allah SWT. Surat al-A’raf ayat 157:
“(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-A’raf: 157).
Dalam ayat ini dinyatakan dengan tegas bahwa orang yang memuliakan Nabi Muhammad SAW, adalah orang yang beruntung. Merayakan Maulid Nabi termasuk dalam rangka memuliakannya. Ayat di atas sangat umum dan luas. Artinya, apa saja yang dikerjakan kalau diniatkan untuk memuliakan Nabi maka akan mendapat pahala. Yang dikecualikan ialah kalau memuliakan Nabi dengan suatu yang setelah nyata haramnya dilarang oleh Nabi seperti merayakan Maulid Nabi dengan judi, mabuk-mabukan dan lain sebagainya.[4]
Perayaan Maulid Nabi diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang gubernur Irbil, di Irak, pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin al-Ayyubi (1138-1193M). Adapula yang berpendapat bahwa idenya sendiri justru berasal dari Sultan Salahuddin sendiri. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin saat itu, yang sedang terlibat dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen Eropa dalam upaya memperebutkan kota Yerusalem.
Fakta yang sesungguhnya dari kehidupan Rasulullah SAW menegaskan bahwa tidak ada riwayat yang menyebutkan beliau pada tiap ulang tahun kelahirannya melakukan ritual tertentu. Bahkan para shahabat beliau pun tidak pernah kita baca dalam sejarah pernah mengadakan ihtifal (seremoni) secara khusus setiap tahun untuk mewujudkan kegembiraan karena memperingati kelahiran Nabi SAW. Bahkan upacara secara khusus untuk merayakan ritual maulid Nabi SAW. juga tidak pernah kita dari generasi tabi'in hingga generasi salaf selanjutnya.
Perayaan seperti ini secara fakta memang tidak pernah diajarkan, tidak pernah dicontohkan dan juga tidak pernah dianjurkan oleh Rasulullah SAW, para shahabat bahkan para ulama salaf di masa selanjutnya. Perayaan mauled Nabi SAW secara khusus baru dilakukan di kemudian hari, dan ada banyak versi tentang siapa yang memulai tradisi ini. Sebagian mengatakan bahwa Shalahuddin Al-Ayyubi yang mula-mula melakukannya, sebagai reaksi atas perayaan natal umat Nasrani. Karena saat itu di Palestina, umat Islam dan Nasrani hidup berdampingan. Sehingga terjadi interaksi yang majemuk dan melahirkan berbagai pengaruh satu sama lain.
Versi lain menyatakan bahwa perayaan maulid ini dimulai pada masa dinasti Daulah Fatimiyyah di Mesir pada akhir abad keempat hijriyah. Hal itu seperti yang ditulis pada kitab Al-A'yad wa atsaruha alal Muslimin oleh Sulaiman bin Salim As-Suhaimi hal 285-287. Disebutkan bahwa para khalifah Bani Fatimiyyah mengadakan perayaan-perayaan setiap tahunnya, di antaranya adalah perayaan tahun baru, asyura, maulid Nabi SAW. bahwa termasuk maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husein serta maulid Fatimah dll. Versi lainnya lagi menyebutkan bahwa perayaan maulid dimulai tahun 604 H oleh Malik Mudaffar Abu Sa'id Kukburi.
Hukum Merayakan Maulid Nabi SAW
Bagi mereka yang sekarang ini banyak merayakan maulid Nabi SAW, seringkali mengemukakan dalil. Di antaranya:
Mereka berargumentasi dengan apa yang ditulis oleh Imam al-Suyuti di dalam kitab beliau, Hawi li al-Fatawa Syaikhul Islam tentang Maulid serta Ibn Hajar al-Asqalani ketika ditanya mengenai perbuatan menyambut kelahiran Nabi SAW. Beliau telah memberi jawaban secara bertulis:
Adapun perbuatan menyambut maulid merupakan bid'ah yang tidak pernah diriwayatkan oleh para salafush-shaleh pada 300 tahun pertama selepas hijrah. Namun perayaan itu penuh dengan kebaikan dan perkara-perkara yang terpuji, meski tidak jarang dicacat oleh perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya. Jika sambutan maulid itu terpelihara dari perkara-perkara yang melanggar syari'ah, maka tergolong dalam perbuatan bid'ah hasanah. Akan tetapi, jika sambutan tersebut terselip perkara-perkara yang melanggar syari'ah, maka tidak tergolong di dalam bid'ah hasanah.
Selain pendapat di atas, mereka juga berargumentasi dengan dalil hadits yang menceritakan bahwa siksaan Abu Lahab di neraka setiap hari Senin diringankan. Hal itu karena Abu Lahab ikut bergembira ketika mendengar kelahiran keponakannya, Nabi Muhammad SAW. Meski dia sediri tidak pernah mau mengakuinya sebagai Nabi. Bahkan ekspresi kegembiraannya diimplementasikan dengan cara membebaskan budaknya, Tsuwaibah, yang saat itu memberi kabar kelahiran Nabi SAW. Perkara ini dinyatakan dalam Shahih Bukhari dalam kitab Nikah. Bahkan Ibnu Katsir juga membicarakannya dalam kitabnya Siratun Nabi jilid 1 halaman 124.
Syamsuddin Muhammad bin Nasiruddin ad-Dimasyqi menulis dalam kitabnya Mawrid as-sadi fi Mawlid al-Hadi: "Jika seorang kafir yang memang dijanjikan tempatnya di neraka dan kekal di dalamnya" (surat Al-Lahab ayat 111) diringankan siksa kuburnya tiap Senin, apalagi dengan hamba Allah yang seluruh hidupnya bergembira dan bersyukur dengan kehadiran Ahmad dan meninggal dengan menyebut "Ahad".
Hujjah lainnya yang juga diajukan oleh para pendukung Maulid Nabi SAW adalah apa yang mereka katakan sebagai pujian dari Imam Ibnu Hajar al-'Asqalani. Menurut mereka, Ibnu Hajar telah menulis di dalam kitabnya, 'Al-Durar al-Kamina Fi 'ayn al-Mi'at al-Thamina' bahwa Ibnu Kathsir telah menulis sebuah kitab yang bertajuk maulid Nabi di penghujung hidupnya,
Malam kelahiran Nabi SAW merupakan malam yang mulia, utama, dan malam yang diberkahi, malam yang suci, malam yang menggembirakan bagi kaum mukmin, malam yang bercahaya-cahaya, terang benderang dan bersinar-sinar dan malam yang tidak ternilai.
Para pendukung maulid Nabi SAW juga melandaskan pendapat mereka di atas hadits bahwa motivasi Rasulullah SAW berpuasa hari Senin karena itu adalah hari kelahirannya. Selain karena hari itu merupakan hari dinaikkannya laporan amal manusia. Abu Qatadah al-Anshari meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ketika ditanya mengapa beliau berpuasa pada hari Senin, menjawab, "Itulah hari aku dilahirkan dan itulah juga hari aku diangkat menjadi Rasul." Hadits ini bisa kita dapat di dalam Sahih Muslim, kitab as-siyam (puasa).
Pendapat yang Menentang Maulid Nabi SAW
Pendapat yang menentang maulid Nabi SAW berpendapat bahwa argumentasi ini dianggap belum bisa dijadikan landasan dasar pensyariatan seremoni Maulid Nabi SAW. Misalnya cerita tentang diringankannya siksa Abu Lahab itu, mereka mengatakan bahwa Abu Lahab yang diringankan siksanya itu pun hanya sekali saja bergembiranya, yaitu saat kelahiran. Dia tidak setiap tahun merayakan kelahiran Nabi dengan berbagai ragam seremoni. Kalau pun kegembiraan Abu Lahab itu melahirkan keringanan siksanya di neraka tiap hari Senin, bukan berarti orang yang tiap tahun merayakan lahirnya Nabi SAW akan mendapatkan keringanan siksa.
Demikian juga dengan pujian dari Ibnu Katsir, sama sekali tidak bisa dijadiakan landasan perintah untuk melakukan seremonial khusus di hari itu. Sebab Ibnu Katsir hanya memuji malam hari di mana Nabi SAW lahir, namun tidak sampai memerintahkan penyelenggaraan seremonial.
Demikian juga dengan alasan bahwa Rasulullah SAW berpuasa di hari Senin, karena hari itu merupakan hari kelahirannya. Hujjah ini tidak bisa dipakai, karena yang saat dilakukan bukan berpuasa, tapi melakukan berbagai macam aktifitas setahun sekali.[5]
Kalau pun mau ber-ittiba' pada hadits itu, seharusnya umat Islam memperbanyak puasa sunnah hari Senin, bukan menyelenggarakan seremoni maulid setahun sekali. Bahkan mereka yang menentang perayaan maulid Nabi ini mengaitkannya dengan kebiasaan dari agama sebelum Islam. Di mana umat Yahudi, Nasrani dan agama syirik lainnya punya kebiasaan ini. Buat kalangan mereka, kebiasaan agama lain itu haram hukumnya untuk diikuti. Sebaliknya harus dijauhi. Apalagi Rasulullah SAW tidak pernah menganjurkannya atau mencontohkannya. Dahulu para penguasa Mesir dan orang-orang Yunani mengadakan perayaan untuk tuhan-tuhan mereka. Lalu perayaan-perayaan ini di warisi oleh orang-orang Kristen, di antara perayaan-perayaan yang penting bagi mereka adalah perayaan hari kelahiran Isa al-Masih, mereka menjadikannya hari raya dan hari libur serta bersenang-senang. Mereka menyalakan lilin-lilin, membuat makanan-makanan khusus serta mengadakan hal-hal yang diharamkan.
Dan akhirnya, para penentang maulid mengatakan bahwa semua bentuk perayaan maulid Nabi yang ada sekarang ini adalah bid'ah yang sesat. Sehingga haram hukumnya bagi umat Islam untuk menyelenggarakannya atau ikut mensukseskannya.[6]
Jawaban dari Pendukung Maulid
Tentu saja para pendukung mauled Nabi SAW, tidak rela begitu saja dituduh sebagai pelaku bid'ah. Sebab dalam pandangan mereka, yang namanya bid'ah itu hanya terbatas pada ibadah mahdhah (formal) saja, bukan dalam masalah sosial kemasyarakatan atau masalah muamalah.
Adapun seremonial maulid itu oleh para pendukungnya diletakkan di luar ritual ibadah formal. Sehingga tidak bisa diukur dengan ukuran bid'ah. Kedudukannya sama dengan seorang yang menulis buku tentang kisah Nabi SAW. Padahal di masa Rasulullah SAW, tidak ada perintah atau anjuran untuk membukukan sejarah kehidupan beliau. Bahkan hingga masa salah berikutnya, belum pernah ada buku yang khusus ditulis tentang kehidupan beliau.
Lalu kalau sekarang ini umat Islam memiliki koleksi buku sirah nabawiyah, apakah hal itu mau dikatakan sebaga bid'ah? Tentu tidak, karena buku itu hanyalah sarana, bukan bagian dari ritual ibadah. Dan keberadaan buku-buku itu justru akan membuat umat Islam semakin mengenal sosok beliau. Bahkan seharusnya umat Islam lebih banyak lagi menulis dan mengkaji buku-buku itu.
Dalam logika berpikir pendukung maulid, kira-kira seremonial maulid itu didudukkan pada posisi seperti buku. Bedanya, sejarah Nabi SAW tidak ditulis, melainkan dibacakan, dipelajari, bahkan disampaikan dalam bentuk seni syair tingkat tinggi. Sehingga bukan melulu untuk konsumsi otak, tetapi juga menjadi konsumsi hati dan batin, karena kisah Nabi disampaikan dalam bentuk syair yang indah. Dan semua itu bukan termasuk wilayah ibadah formal (mahdhah) melainkan bidang mu’amalah. Di mana hukum yang berlaku bahwa segala sesuatu asalnya boleh, kecuali bila ada dalil yang secara langsung melarangnya secara eksplisit.
Kesimpulan sebagai bagian dari umat Islam, barangkali kita ada di salah satu pihak dari dua pendapat yang berbeda. Kalau pun kita mendukung salah satunya, tentu saja bukan pada tempatnya untuk menjadikan perbedaan pandangan ini sebagai bahan baku saling menjelekkan, saling tuding, saling caci dan saling menghujat.
Perbedaan pandangan tentang hukum merayakan Maulid Nabi SAW, suka atau tidak suka, memang telah kita warisi dari zaman dulu. Para pendahulu kita sudah berbeda pendapat sejak masa yang panjang. Sehingga bukan masanya lagi buat kita untuk meninggalkan banyak kewajiban hanya lantaran masih saja meributkan peninggalan perbedaan pendapat di masa lalu.
Sementara di masa sekarang ini, sebagai umat Islam, bukanlah waktu yang tepat bila kita saling bertarung dengan sesama saudara kita sendiri, hanya lantaran masalah ini. Sebaliknya, kita justru harus saling membela, menguatkan, membantu dan mengisi kekurangan masing-masing. Perbedaan pandangan sudah pasti ada dan tidak akan pernah ada habisnya. Kalau kita terjebak untuk terus bertikai.
Menurut catatan sejarah, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pertama kali diperkenalkan seorang penguasa Dinasti Fatimiyah. Jauh sebelum Al-Barzanji lahir dan menciptakan puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Langkah ini secara tidak langsung dimaksudkan sebagai sebuah penegasan kepada khalayak, bahwa dinasti ini betul-betul keturunan Nabi Muhammad SAW. Setidaknya ada dimensi politis dalam kegiatan tersebut.
Selanjutnya peringatan Maulid menjadi sebuah rutinitas umat Islam di berbagai belahan dunia. Hal itu terjadi setelah Abu Sa’id al-Qakburi, Gubernur Irbil, Irak, mempopulerkannya pada masa pemerintahan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi (1138-1193M). Waktu itu tujuannya untuk memperkokoh semangat keagamaan umat Islam umumnya, khususnya mental para tentara menghadapi serangan tentara salib dari Eropa, yang ingin merebut tanah suci Jerusalem dari tangan kaum muslimin.
Memuliakan keagungan pribadi junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW sudah menjadi ketentuan syari’at. Menyambut kegembiraan kelahirannya merupakan salah satu pertanda rasa terima kasih dan syukur kepada Allah SWT sekaligus merupakan bukti tentang keikhlasan menerima hidayah Illahi yang dibawa Nabi Muhammad SAW.[7]
Masyarakat muslim di Indonesia umumnya menyambut Maulid Nabi dengan mengadakan perayaan-perayaan keagamaan seperti pembacaan shalawat Nabi, pembacaan syair Barzanji dan pengajian. Menurut penanggalan Jawa bulan Rabiul Awal disebut bulan Mulud, dan acara Muludan juga dirayakan dengan perayaan dan permainan gamelan Sekaten.
Sebagian masyarakat muslim Sunni dan Syiah di dunia merayakan Maulid Nabi. Muslim Sunni merayakannya pada tanggal 12 Rabiul Awal sedangkan muslim Syiah merayakannya pada tanggal 17 Rabiul Awal, yang juga bertepatan dengan ulang tahun Imam Syiah yang keenam, yaitu Imam Ja'far ash-Shadiq.
Kaum ulama yang berpaham Salafiyah dan Wahabi, umumnya tidak merayakannya karena menganggap perayaan Maulid Nabi merupakan sebuah Bid'ah, yaitu kegiatan yang bukan merupakan ajaran Nabi Muhammad SAW. Mereka berpendapat bahwa kaum muslim yang merayakannya keliru dalam menafsirkannya sehingga keluar dari esensi kegiatannya.
Maulid sebagai bagian dari tradisi keagamaan dapat dilihat dari dua segi, yakni segi historis dan segi sosial kebudayaan. Dari sudut historis, pada cacatan al-Sandubi dalam karyanya Tarikh al- ikhtilaf fi al-Maulid al-Nabawi, al-Mu’izz li-Dinillah (341-365/953-975), penguasa dari Fatimiyah yang pertama menetap di Mesir, adalah orang yang pertama yang menyelenggarakan perayaan kelahiran Nabi yang tercatat dalam sejarah Islam. Kemudian kurun-kurun berikutnya tradisi yang semula dirayakan hanya oleh sekelompok Syi’i ini juga dilaksanakan oleh kaum Sunni, di mana khalifah Nur al-Din, penguasa Syiria (511-569/1118-1174) adalah penguasa pertama yang tercatat merayakan Maulid Nabi. Pelaksanaan secara besar-besaran dilaksanakan untuk pertama kalinya oleh Raja Mudhaffar Abu Said al-Qakburi bin Zaid al-Din Ali bin Baktakin (549-643/1154-1232) penguasa Irbil 80 km tenggara Mosul Iran yakni pada awal abad ke 7H/ke 13 M.[8]
Adapun karya-karya mengenai maulid tercatat memiliki keterkaitan tarekat adalah al-Barzanji, yakni yang diadopsi dari tarekat tertua, Qadiriyyah, sedangkan kitab maulid al-Diba’i tidak memiliki kaitan dengan thariqah.[9] Namun hampir terdapat kepastian, bahwa munculnya kitab-kitab Maulid pada abad ke 15M/ke 9-10H sebagai ekspresi penggugah semangat kecintaan dan kerinduan pada Rasul terilhami dari budaya sufisme. Tentu saja antara tasawuf dan tarekat dengan kitab-kitab Maulid Nabi serta, serta tradisi pembacaannya memiliki garis hubungan spiritual yang menjadi titik tolak bertemunya doktrin tasawuf dengan isi atau kandungan kitab Maulid tersebut.
Antara sufisme dan maulid itu, dihubungkan dengan doktrin cinta (mahabbah dan al-hubb). Maka disini, posisi kitab Maulid dengan segala tradisinya menghubungkan antara pembaca dengan yang dicintai yakni Nabi Muhammad. Kecintaan kepada Nabi Muhammad ini dalam tradisi Maulid menjadi inti, sebagai sarana wushuliyyah menuju kecintaan kepada Allah. Sebab di dalamnya terdapat doktrin tentang Nur Muhammad sebagai pusat danmaksud penciptaan alam dan manusia.[10]
Belum didapatkan keterangan yang memuaskan mengenai bagaimana perayaan maulid berikut pembacaan kitab-kitab maulid masuk ke Indonesia. Namun terdapat indikasi bahwa orang-orang Arab Yaman yang banyak datang di wilayah ini adalah yang memperkenalkannya, disamping pendakwah-pendakwah dari Kurdistan. Ini dapat dilihat dalam kenyataan bahwa sampai saat ini banyak keturunan mereka maupun syaikh-syaikh mereka yang mempertahankan tradisi pembacaan Maulid. Di samping dua penulis kenamaan Maulid berasal dari Yaman (al-Diba’i) dan dari Kurdistan (al-Barzanji), yang jelas kedua penulis tersebut mendasarkan dirinya sebagai keturunan rasulullah, sebagaimana terlihat dalam kasidah-kasidahnya.[11]
Dapat dipahami bahwa tradisi keagaman pembacaan Maulid merupakan salah satu sarana penyebaran Islam di Indonesia, Islam tidak mungkin dapat tersebar dan diterima masyarakat luas di Indonesia, jika saja proses penyebarannya tidak melibatkan tradisi keagamaan tradisi keagamaan. Yang jelas terdapat fakta yang juat bahwa tradisi pembacaan mauled merupakan salah satu ciri kaum muslim tradisional di indonesia.[12] Dan umumnya dilakukan oleh kalangan sufi. Maka dari segi ini dapat diperoleh kesimpulan sementara bahwa masuknya Perayaan Maulid berikut pembacaan kitab-kitab maulid bersamaan dengan proses masuknya Islam ke Indonesia yang dibawa oleh pendakwah yang umumnya merupakan kaum sufi.[13]
Hal itu dilakukan karena dasar pandangan ahl al-sunnah wa al-jama’ah, corak Islam yang mendominasi warna Islam Indonesia, lebih fleksibel dan toleran dibanding dengan kelompok lain. Mempertahankan tradisi menjadi sangat penting maknanya dalam kehidupan keagamaan mereka, berdasarkan pada kaidah ushuliyah, al-muhafadzah li al qadim al- shalih, wa al-ahdza min jadid al ashlah. Inilah kemudian dalam wacana keilmuan disebut sebagai Islam Tradisional.
Justru karena kemampuan dalam menyesuaikan ajaran Islam dengan tradisi yang telah mengakar dalam masyarakat inilah, maka kelompok tradisional Islam berhasil menggalang simpati dari berbagai pihak yang menjadi kekuatan pedukung. Rozikin Daman memandang bahwa hal inilah yang mendorong timbulnya kelompok tradisionalisme dan sekaligus menjadi salah satu faktor pendorong bagi tumbuhnya gerakan tradisionalisme Islam.[14]
Salah satu sarana efektif penggalangan simpati tersebut adalah pelestarian tradisi keagamaan yang populer di masyarakat, termasuk yang paling penting didalamya adalah peringatan maulid serta pembacaan kitab-kitab maulid, yang umumnya lebih dikenal sebagi diba’an atau berjanjen.
[1] Sirajudin Abbas, 40 Masalah Agama 2, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2004), hlm.182.
[2] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, (Libanon: Darul Fikr, t.th.), hlm. 241.
[3] Sirajudin Abbas, Op. Cit., hlm. 183.
[4] Sirajuddin Abbas, Op. Cit., hlm. 183-184.
[5] Hammad Abu Muawiyah As-Salafi, Studi Kritis Perayaan Maulid Nabi, (PKG goa-Sulawesi Selatan: Al Maktabah al-Atsariyah Ma’had Tanwir as-Sunnah, 2007) hlm. 201
[6] Ibid., hlm 203
[7] Al-Hamid al-Husaini, Sekitar Maulid Nabi Muhammad SAW dan Dasar Hukum Syari’atnya, (Semarang: Toha Putra, 1987), hlm. 82.
[8] Nico Kaptein, Perayaan hari sejarah lahir nabi Muhammad SAW, Asal usul sampai abad ke 10/16, terj Lillian D. Tedjasudhana, INIS, Jakarta 1994, hal 10/ ke – 16 terjemah Lilian D. Tedjasudhana, INIS, Jakarta 1994, hlm 10-18, 20-23, 27-29, dan hal 41 bandingkan dengan Macahasin, Dibaan/Barjanjen dan identitas keagamaan umat, dalam jurnal Theologia, Fak Ushuluddin IAIN Walisongo, vol 12, no 1 Pebruari, 2001, hlm 24
[9] Ahmad Anas, Menguak Pengalaman Sufistik Pengalaman Keagamaan Jamaah Maulid al-Diba’ Girikusumo, (Semarang: Pustaka Pelajar, 2003) hlm.64
[10] Mengenai doktrin ini lihat Ahmd Muhammad Yunus Langka, Daqaiq al-Akbar, tt., hlm 2-3 lihat juga Abd Rahman al-Diba’i, Maulid al-Diba’i, dalam al-Mawlid Wa Ad’iyyah, tt, Surabaya, hlm. 169. Sedangkan mengenai hadits-hadits yang berkaitan dengan doktrin tersebut lihat Muhammad Nafisal Banjari, Durr al- Nafs, Singapura, 1928 hlm.21-22
[11] Bandingkan dengan Machasin, op. cit., Mengenai klaim penulis sebagai keturunan Rasulullah. Dalam kitab maulid al-Barzanji maupun al-Diba’i.
[12] Ibid., hlm 23
[13] Corak dengan kaum tradisional itu tidak lepas pula dari strategi dakwah yang diterapkan oleh para penyebar Islam mula-mula di Indonesia saat itu yang sebagian besar petani yang tinggal di daerah pedesaan dan tingkat pendidikannya yang sangat rendah, maka pola penyebaran Islampun disesuaikan dengan kemampuan pemahaman masyarakat. Sehingga materi dakwah pada waktu itu lebih diarahkan keyakinan serta ajaran ibadah yang bersifat pemujaan secara ritual. Selain itu ditopang oleh perilaku ibadah dan upacara ritual keagamaan yang dianggap akan makin memperkokoh keimanan dan keislaman mereka sangat dianjurkan, seperti tahlilan, yasinan, ziarah kubur, talqin, shadaqahan (kenduri/ kondangan, selamatan) haul upacara yang terkait dengan kematian dan sebagainya.
[14] Rozikin Daman, Membidik NU Dilema Percaturan Politik Nu Pasca Khittah, Yogyakarta: Gama Media, 2001).hlm 35
*Sumber: http://hakamabbas.blogspot.com/…/perayaan-maulid-nabi-muham…